Sehangat Senja.. Cinta Pertama ❤






Aku selalu menyukai langit.. yang kosong dan menampakkan birunya, maupun berawan tipis yang membentuk awan yang lembut tipis layaknya kapas. Kenapa ? Karena aku selalu merasakan nyaman dan damai ketika menatap hamparan luas tak berujung itu. Rasa nyaman yang mengingatkanku kepadaa… “Sulit sekali hanya untuk mengucapkan namanya ?” batinku. Seketika lidahku terasa kelu tak bisa mengucapkan setiap huruf dalam namanya. Cairan bening-pun mulai mengembang di kedua bola mataku, tapi aku begitu enggan untuk menjatuhkannya. Aku terdiam untuk beberapa saat. Aku memastikan, dan mulai ku tengok dalam hatiku, “Adakah yang berubah disana ? Cinta itu ? Rindu itu ? Bahkan luka itu ? Adakah yang berubah ?” tanyaku pada hatiku. Tak ada jawaban.
“Dasar bodoh! Mana hati ini bisa jawab coba” kataku. Aku tersenyum geli dengan kebodohanku.
“Tuhan kan menciptakan hati hanya untuk merasakan bukan untuk berbicara. Apa jadinya coba kalau hati setiap orang bisa bicara ? Mungkin hati itu akan lepas kendali mengatakan semua perasaan majikannya. Ya kan ?”
Segera aku menarik nafasku panjang-panjang untuk menghilangkan kacaunya hatiku beberapa saat yang lalu hingga aku merasa tenang. Ku usap kedua bagian sekitar mataku yang tak jadi basah oleh air mataku dan aku mulai melupakan apa yang baru saja mengacaukan keadaanku.
Aku mendongak dan menengok sekeliling. Entah sejak kapan aku tak menyadari bahwa aku tak hanya sendiri lagi di taman ini sekarang.
Saat ini aku berada di sebuah taman yang terletak di tepian dari puncak Gunung Lawu, dimana tepat didepan taman ini sudah terdapat tebing yang cukup mampu membuat korbannya patah tulang bila terjerumus kedalamnya. Tapi tempat ini telah menjadi tempat favoritku dalam waktu lama ini, bahkan tidak hanya aku, terkadang banyak pasangan kekasih juga senang menghabiskan waktu berdua mereka di taman ini, walau hanya untuk mengobrol sepanjang waktu. Seperti beberapa saat lalu yang sering kulakukan dengan.. Aku berusaha mengingat semua awal cerita ini.


Semua hal tentang dulu…
Rafaleya. Yang sering kupanggil Aya. Dia adalah teman masa kecilku yang dulu pernah hilang. Tapi takdir berhasil dengan caranya mempertemukan kami kembali. Kembali kemasa-masa dulu yang begitu dekat dan sekarang kami menjadi dekat dan semakin dekat lagi.
“Hai Ra. Lagi ngapain ?” tanya Aya pagi itu ketika ia muncul di depan rumahku.
“Lagi nonton Larva nih, mau ikutan ?” jawabku.
“Oke boleh. Tapi abis ini aku mau curhat ya ?”
“Siap”
Hatiku mulai berdegup. Aku mengelus bagian dadaku. Aku tidak pernah siap dengan hal ini, aku tidak pernah kuat menghadapi semua hal yang akan terjadi, aku tidak pernah sanggup berdiam membiarkan hati ini terluka setiap saat seperti ini.
Aku selalu tau topik apa yang akan dia ceritakan kepadaku. Topik yang selalu membekukanku. Topik tentang Alika. Alika adalah cinta terpendamnya dalam beberapa waktu belakangan ini. Alika pernah dekat dengan Aya pada saat jauh sebelum aku dan Aya kembali dan dekat seperti saat ini. Dan hal itu memberikan nilai yang berarti pada hati Aya.
Aku memberanikan diri melihat kearah Aya. Dia fokus melihat kelayar TV dan tertawa ketika ada adegan yang dianggapnya lucu. “Apa aku sanggup Ya, nahan sakit ini lama-lama ? Aku sakit Ya, selalu disamping kamu. Aku sakit selalu berusaha memahami dan menunggu kamu” batinku. Aku mengatur nafasku teratur. Saat ini adalah saat yang tepat untuk membangun benteng sebelum perang dengan hatiku dimulai.
Setelah program TV Larva selesai dia mulai terlihat serius dan menatapku.
“Sekarang yuk!” ajaknya.
“Sekarang mulai deh” jawabku singkat pura-pura penuh semangat.
“Tapi nggak disini. Aku pengen di taman favorit kita”
Aku terdiam memaku. “Tuhan.. Kenapa harus ditempat itu ? Aku nggak sanggup berbagi tempat itu dengan perempuan lain, terutama Alika walaupun itu cuma sekedar dalam cerita. Aku tidak pernah mau berbagi tempat itu dan mencemarinya dengan sosok lain selain aku dan Aya” rintihku dalam hati
“Hei kok bengong ?” tanya Aya karna tak sabar menunggu jawabanku.
“Ah eh iya terserah kamu aja deh Ya” jawabku.
“Ya udah aku ganti baju dulu kalau gitu” lanjutku.
Aku bergegas berlari ke kamarku dilantai atas. Setelah didalam, ku tutup pintu kamarku rapat.
“Tuhan.. Apa aku rela membagi tempat itu dengan orang lain ?” kataku pada pantulan diriku dicermin.
Setelah selesai berganti baju, aku segera turun. Kulihat Aya sudah berada diatas motor kesayangannya. Kulangkahkan kakiku yang terasa lengket dengan tanah untuk mendekat kearahnya. “Aku tau ini sulit.. Tapi ayolah ini bukan untuk Alika, tapi ini untuk Aya, seseorang yang memberikan rasa yang berbeda untukmu” batinku pada hatiku. Aku menghampiri Aya dengan sedikit senyum yang telah susah payah aku coba paksakan.
“Ayo!” ajaknya.
Dia mengulurkan tangan kirinya padaku. Aku hanya terdiam, membeku. “Apa maksud dia mengulurkan tangannya padaku ? Untuk membantuku disaat luka hatiku mulai terkuak ? Untuk memberikanku harapan dan melepaskanku lagi ?” batinku. Aku menatapnya aneh untuk meminta penjelasan atas perlakuannya.
“Aku mau bantu kamu naik. Mungkin kamu gak bisa naik sendiri dan butuh bantuanku ?” katanya mengerti maksud tatapanku.
“Oh, oke” jawabku. Ku letakkan tangan kiriku ditelapak tangannya, dan seketika hangat menjalar keseluruh tubuhku. Aku selalu merasa sungkan dan asing ketika saat-saat seperti ini, saat-saat dimana dia akan menceritakan padaku tentang perempuan lain, perasaannya terhadap perempuan lain ataupun kedekatannya dengan perempuan lain. Aku selalu tahu tentang perasaanku ini, sedangkan Aya? aku bisa jamin dia tidak pernah menyadari sikap sungkanku pada saat ini. Sampai saat ini dia belum melepaskan genggaman tangannya, baru setelah ia memastikan aku siap dan berada tepat pada posisiku seharusnya ia melonggarkan genggamannya dan aku menarik tanganku dari  tangannya.
Aku berpegangan dikedua bahunya. Selama perjalanan-pun aku dan dia hanya bertemankan diam. Aku yakin hal yang ingin diceritakan Aya adalah hal penting karena dia sama sekali tak mengajakku berbicara sedikit-pun selama perjalanan ini. Dan akhirnya aku termakan oleh bosan. Aku mulai melepaskan peganganku pada bahunya. Kuambil I-pod dari kantong tasku beserta headset-nya. Kupasang headset itu dikedua telingaku. Kuatur volumenya hingga aku tak bisa mendengar suara lalu lalang kendaraan yang lewat. Aku mulai mengangguk-angguk mengikuti alunan musik dari headset sampai motor yang ku naiki berhenti tepat didepan taman yang sudah ku hafal betul bentuknya.
Aku turun dari motor Aya terlebih dahulu dan aku langsung menuju bangku favorit kami yang berhadapan dengan pemandangan menakjubkan blok-blok rumah, sawah, jalan raya, kota bahkan waduk-pun terlihat dari bangku ini. Ternyata kami cukup pagi karena dapat menduduki bangku ini, biasanya bangku ini juga menjadi idola pasangan-pasangan lain.
Aya turun dari motornya, menghampiriku dan kini telah berada disampingku.
“Pantesan aja dari tadi diem, ternyata lagi pake headset” katanya memulai percakapan.
“Besok-besok pegangan dong, kalo jatuh kan aku gak mau tanggung jawab” lanjutnya.
“Iya” jawabku sambil tersenyum.
Dan cerita-pun mulai dimulai.
“Ra, kenapa ya aku ngerasain ada something beda setiap aku ketemu sama Alika ? Rasanya gimana gitu” mulainya.
“Maksudnya ?”
“Aduh tulalitnya mulai kumat nih.. Gini loh lemot” dia membenarkan posisi duduknya sehingga tepat berhadapan denganku. “Aduh, gak perlu kayak gini kenapa ?” batinku.
“Aku ngerasa ada perasaan yang beda sekarang tiap aku ketemu sama Lika. Tapi rasa yang ini aneh Ra” jelasnya.
“Iya kalau gitu mah aku tau, tapi bedanya itu beda yang gimana ?” tanyaku masih tak mengerti.
“Kamu itu ya lagi nge-hang ya ? Hari ini sumpah deh kamu lemot abis”
“Hei aku ngga lemot ya! Aku mah manusiawi tau!” protesku tak terima. “Sekarang coba deh siapa yang bisa langsung ngeh sama tanda-tanda yang kamu kasih tadi ? Itu mah masih umum-umum aja kayak biasanya kalau orang lagi naksir sama lawan jenis Aya! Beda lagi kalau kamu ngerasa jadi makin deg-degan waktu sama dia atau kamu jadi biasa aja pas ketemu dia, gitu..” tegasku.
“Ya kalau deg-degan jelas masih lah! Kan aku naksir sama dia”
Crack! “Tuhan, Aira nggak nyangka bakal seserius ini jadinya. Rasanya sakit banget denger kata-kata Aya barusan” rintihku dalam hati. Air mata mulai mengembang diluar bola mataku. Aku memalingkan mukaku dari hadapannya, entah apa yang berada dalam benak dia melihat perubahanku saat ini.
“Kamu pernah sadar nggak sih Ya kalau sebenernya ada seseorang yang lebih mencintai kamu dari pada Alika maupun perempuan-perempuan lainnya diluar sana ? Dan kamu tau siapa dia ? Dia itu AKU! AKU Ya! Aku, perempuan yang saat ini duduk di sebelah kamu! Sampai kapan kamu mau pura-pura buta dan tuli nggak menyadari perasaanku ?” kataku dalam hatiku.
“Hei kenapa kok diem ? Ada yang salah ya sama yang tak omongin ?” tanya Aya.
“Hah ? Nggak kenapa-kenapa kok” kataku singkat. Kuusap kedua air mata yang masih menggantung dikedua mataku dan ku palingkan mukaku kembali kearahnya.
Aya melihatku dengan khawatir.
“Kamu kenapa ? Sakit ? Nangis ?” tanyanya. Kedua tangannya menyentuh lembut kedua pipiku. Aku-pun tak bisa menyembunyikan lagi perasaanku. Tangisku-pun pecah. Aku berusaha sekuat tenaga menahan suara tangisku agar tak terdengar oleh orang lain. Sedangkan Aya, dia berusaha menenangkanku dalam rangkulannya.
“Hei ngapain kamu nangis sih Aira! Malu-maluin tau! Apa yang bakalan Aya pikirin tentang kamu nanti coba ? Jangan sampai perasaan kamu terbongkar! Jangan sampai! Cukup aku yang tau..”  kataku menenangkan diriku sendiri.
Aya melihatku lekat. Ia memastikan bahwa keadaanku lebih baik sekarang.
“Kamu sakit ya ? Atau kamu ada masalah ?” tanyanya. Ia menempelkan punggung tangan kanannya dikeningku untuk memastikan.
“Anget.. Kamu seharusnya ngomong dari awal kalo kamu sakit, jadi kita ngga perlu kesini. Kan disini dingin, kamunya malah bisa lebih parah tau” katanya padaku. Dia melepas jaket yang ia kenakan dan memakaikannya padaku.
“Biar kamu angetan” tambahnya.
“Aku ngga papa lagi. Ngga usah khawatir sampai segitunya deh. Over banget” kataku.
“Over gimana ? Orang kamu sakit beneran juga! Kita pulang yuk”
“Aku ngga papa Aya! Aku bilang ngga ya berarti emang ngga papa. Aku ngga mau pulang. Aku masih pengen disini”
“Tapi kamu ngga papa kalo kita tetep disini ?”
Aku memasang muka kesal kepadanya.
“Oke oke aku ngerti. Iya kita disini dulu bentar” katanya mengerti maksud reaksi mukaku.
“Nah gitu dong! O iya kamu tadi ceritanya sampai mana ?” tanyaku memulai percakapan lagi.
“Sampai mana ya ? Kamunya sih bikin panik jadi lupa kan ?” jawabnya sambil tertawa. “Ya udah deh lupain aja, kita bahas yang lain aja” lanjutnya.
“Em ya udah. Kamu mau ngajarin akunya main gitar kapan ?”
“Bukannya kamu udah bisa ya ?”
“Iya tapi kan kamu udah janji buat ngajarin aku. Jangan ingkar janji gitu dong! Lepas dari tanggung jawab deh”

“Aku ngga ingkar janji! Aku cuma aneh aja, kamu kan udah bisa ngapain minta diajarin lagi ?”
“Kan aku bisanya juga baru, belum bisa bisa banget”
“Iya deh kapan-kapan ya kalo aku bisa aku ngomong deh. Oke ?”
“Siap”
                                                                                                                                                                                                       *         
Waktu memang kejam bukan ? Waktu tak pernah mengijinkanku membagi perasaan ini, tapi waktu selalu menekannya untuk kupendam sendiri. Sudah cukup lama aku sendiri, menahan perasaan ini. Tak pernah menuntut balas atas perasaanku ini kepadanya. Sedangkan dia malah memberikan perasaan yang kuharapkan itu pada perempuan lain. Sungguh tak adil bukan bagaimana takdir tak berpihak padaku ? Aku menginginkan perasaannya, tapi aku hanya seorang yang menjadi tempat berbagi cerita cintanya, cerita cinta mereka.
Setiap hari aku berjuang menahan perasaanku. Aku berjuang mengontrol hatiku yang telah hancur. Jarak kita selangkah lebih dekat, tapi hati dan tali takdir kita terpisah sejauh setapak menuju ketidak-pastian. Ketika aku menginginkan untuk memilikimu, seakan aku hanya mendekap dalam kosong.
                                                                                                                                                                                                       *         
Pagi ini seperti pagi pada hari minggu biasanya, aku menghabiskan waktu pagiku menonton beberapa serial kartun favoritku. Aku tertawa dalam sendiri ketika menonton semua itu. Setelah selesai dengan semua serial beruntun itu, aku berjalan menuju halaman belakang rumahku dan membawa gitarku. Rasanya aku sangat ingin sekali bersama dengan benda itu untuk saat ini.
Aku petik senar gitarku membentuk nada-nada ringan dan aku mulai bernyanyi.
“You know all the things I’ve said..
You know all the things that we have done.. and things I gave to you
There’s a chance for me to say how precious you’re in my life..
And you know that it’s true..”
“Mbak Aira, ada telepon dari Mas Aya!” ada teriakan dari dalam rumah.
”To be with you it’s all that I need, Aya..” lajutku dalam hati.
“Mbak Aira..” panggilan kedua kalinya.
“Iya mbak.. Aira masuk” jawabku. Aku berjalan mendekati tempat telepon rumahku. Aku mengatur napasku, lalu kutempelkan ganggang telepon ketelingaku. Aku sempat mendengar band Tipe-X melantunkan lagunya diseberang sana sebelum akhirnya band itu dipaksa menghentikan lagunya yang belum selesai.
“Halo” panggilku.
“Lama banget ?”
“Maaf tadi lagi di halaman belakang”
“Lagi main gitar pasti ya ? Lagu Ten2Five lagi.. ?”
“Haaah ? Kok tau ? Punya indera keenam kali ya ini anak ? Perlu diwaspadai nih..” batinku.
“Heiii kok diem ? Hayo bener ya ?” katanya sambil tertawa.
“Kok kamu tau ? Tau darimana ?”
“Udah jadi kebiasaan kamu kali itu mah..”
“Oh ya ?” kataku dengan tertawa.
“Iya..”
“O iya kenapa telepon ? Biasanya langsung dateng kerumah ?”
“Ketaman biasa yuk! Katanya mau diajarin gitar ?”
“Sekarang ?”
“Jam setengah sebelas aja ya ?”
“Kok dadakan ?”
“Ngga papa kok”
“Oke.. kamu kerumah jam berapa ?”
“Kalo kamu berangkat sendiri gimana ?”
“Emang kenapa ? Ya udah deh terserah aja..”
“Oke! Jangan telat ya..” katanya mengakhiri pembicaraan kami ditelepon.
“Tumben aku disuruh berangkat sendiri ?” tanyaku dalam hati.
                                                                                                                                                                                                       *         
Aku sampai ditaman favorit kami setengah jam lebih terlambat dari jam janjian kami. Dan sungguh tak disangka dengan apa yang kulihat disana. “Aya ? Aya.. sama ? Hah! Alika ? Ngapai dia disini ? Atau.. jangan-jangan memang aku yang dijebak disini ?”. Aku mematung ditempatku saat ini, masih mencerna apa yang kulihat. Aku ingin beranjak pergi dari tempat itu tapi sayang aku sangatlah terlambat. Aya sudah melihatku tajam dari tempatnya, yang berarti dia sedang mencari kebenaran perlakuanku sekarang ini.
“Ngapain masih disitu ? Kesini deh!” katanya.
“Ah eh iya”. Aku berjalan mendekati mereka.
“Tadi ditelepon aku bilang apa ? Jangan telat kan ? Terus kenapa ini kok telat sampai 35 menit ? Masak sama tamunya duluan tamunya ?” protes dia panjang-lebar.
“Eh ya maaf” kataku dengan nada penyesalan.
“Eh ngapain sama dia juga ?” tanya Alika sinis.
Aku hanya mengangkat kedua bahuku menandakan aku tak tau apa-apa tentang semua ini.
“Tau gini aku ngga mau dateng tadi. Aku kira cuma kita berdua aja” rengek Alika manja pada Aya.
“Kalo tau gini aku juga ngga mau dateng kali. Aku mau kesini juga karna Aya” protesku pada Alika.
“Aku ngga nanya kamu!” kata Alika.
“Hei hei ngga perlu ribut kali!” kata Aya berusaha melerai kami.
“Ra, sini..” Aya menghampiriku dan menuntunku ketempat duduknya semula. Dia duduk ditempat itu terlebih dulu, sedangkan aku dan Alika masih berpandang-pandangan satu sama lain. Aku masih bisa melihat raut sebal dimuka Alika saat ini.
“Hei! Kalian duduk!” perintah Aya.
“Oh oke oke” kataku singkat kemudian menyusul duduk disebelah Aya.
“Kita main yuk..” kata Aya.
“Ehem..” suara Alika menyadarkan kami keberadaannya ditempat dia berdiri.
“Lika.. sini ikutan main” ajak Aya padanya.
“Bukannya kata kamu dia udah bisa main gitar ya, Ya ? Ngapain masih minta diajarin ?” tanya Alika pada Aya.
“Iya sih, tapi dulu aku pernah janji sama Aira, Lika. Jangan cemburu gitu dong” canda Aya pada Alika membuatnya semakin besar kepala.
Aku-pun tersedak mendengar candaan Aya itu.
“Eh Ra, kenapa ?” tanya Aya.
“Ngga papa kok” jawabku.
“Aduh kamu itu ganggu suasana banget sih ?  Bilang aja kamu sirik sama aku dan Aya. Kamu cemburu kan ? Iya kan ?” kata Alika padaku.
“Pass bangeet Tuhan!” batinku.
“Ngga usah ngelak lagi deh kamu, aku tau banget!” lanjutnya lagi.
Aku hanya diam memaku tak bisa merespon semua perkataan Alika yang tepat tentang perasaanku saat ini.
“Ei apa-apaan sih kalian ? Berantem mulu!” amuk Aya mulai jengkel dengan kami.
“Aya mending kamu ajarin aku aja deh, aku kan ngga bisa. Kalo dia kan udah bisa, ngapain pake diajarin segala ?” tukas Alika meminta pada Aya.
“Aku ngeliatin kamu sambil ngajarin Alika ya..” minta Aya padaku.
“Kalo itu mau kamu..” jawabku singkat. Aku kemudian berjalan menjauh dari mereka menuju kebangku favoritku dan Aya. Aku terdiam sesaat disana melihat Aya yang mengajari Alika cord dasar, dan.. “Aya memegang jemari tangan Alika ? Be Patient Aira..” hiburku pada diriku sendiri.
“Tuhan.. sakit banget hati Aira saat ini. Kenapa aku harus membagi tempat ini sekaligus membagi orang yang aku sayang secara bersamaan disaat ini ?”  rintihku dalam hati. Dua butir air mata jatuh dari pelupuk mataku, membelah keringnya dikedua pipiku. Setelah beberapa saat, butir air mata yang lain berlomba-lomba untuk jatuh. Dan tak menunggu lama lagi, kedua pipiku telah basah oleh air mata. Aku menangis tanpa suara. Aku menahan suara isakanku. Kemudian aku segera menghapus air mataku.
Aku masih melihat mereka begitu asyik ditempat mereka. Kutarik napasku panjang menenangkan perasaanku. Kuambil gitarku dari tempatnya. Aku memetik beberapa cord hingga membentuk nada lagu. Nada bait pertama selesai, Aya dan Alika berhenti dengan keasyikan mereka, berdiam sesaat saling memandang aneh dan melihat kearahku. Tapi memang aku merasa masa bodoh dengan apa yang mereka fikirkan saat ini tentangku.
Aku mulai membuka suaraku.
“Jika kubukan orangnya..
Jangan beri aku harapan itu yang kumau..
Jika kubukan orangnya..
Jangan pernah katakan sayang dan cinta..
Let me be the one.. let me be the one”
Sekarang tatapan aneh itu mulai mereka tancapkan kearahku.
“Kenapa ? Ada yang salah ?” tanyaku atas tatapan mereka.
“Ngga papa, kok kamu nyanyi itu ?” tanya Aya.
“Ngga papa juga, salahkah ?”
“Ngga sih, tapi apa maksudnya kamu nyanyi lagu itu ? Buat siapa itu lagu ?”
“Bukan buat siapa-siapa. Cuma nyanyi aja kok” kataku.
“Kamu pengen kepastian ?” tanya Alika akhirnya.
“Ngga juga. Aku kan udah bilang cuma nyanyi aja”
“Oke deh kalo masih pengen ngelak lagi, tapi asal kamu tau ya aku ngga bodoh dan aku yakin Aya juga tau itu” kata Alika membunuh.
Aku terdiam.
                                                                                                                                                                                                             *         
Hari ini tepat sebulan setelah kejadian ditaman favorit kami terjadi. Dan tepat sebulan juga aku menjauh dari Aya. Menolak dan menghindari setiap kabar yang berhubungan dengannya. Setelah perkataan Alika saat itu, keadaan menjadi semakin rumit. Aku tak bisa menutupi lukaku lebih lama, setelah ditodong begitu telaknya oleh Alika. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku hanya terdiam mendengar semua realita perasaanku yang dibongkar olehnya. Dan akhirnya, semuanya terbongkar. Perasaanku selama ini.
Aku terdiam dikamarku. Termenung melihat hamparan luasnya halaman diluar jendela kamarku. Saat ini diluar hujan, sangat mendukung suasana hatiku saat ini.
“Hujan berhenti.. Hujan ngga berhenti.. Hujan berhenti.. Hujan ngga berhenti..” kataku sambil membentuk garis-garis pada embun dikaca kamarku dengan jari telunjukku.
“Huh, aku kayak orang yang diungsikan ya ?” kataku dengan senyuman miris.
“Aira tau Tuhan yang paling tau apa yang akan terjadi pada hambanya, yang berarti Tuhan tau apa yang akan terjadi pada Aira.. Tuhan, seenggaknya Aira ngga terbebani lagi dengan perasaan Aira. Memang sih, Aira kangen saat-saat menyenangkan sama Aya, tapi Aira ngga bisa apa-apa Tuhan. Cuma Tuhan yang Aira punya dan Aira tau ngga cuma Aira yang Tuhan punya. Jadi Aira akan tunggu Tuhan, takdir Tuhan untuk Aira. Semoga Aira bisa bersabar menunggu saat itu..”  batinku.
“Mbak Aira” ada panggilan disertai ketukan pintu dari luar kamarku.
“Mbak.. Mbak Aira..” panggilan selanjutnya dan diikuti ketukan selanjutnya pula.
“Iya mbak..” aku berjalan mendekati pintu kamarku. Dan sungguh terkejut ketika aku mendapati Aya tepat didepan pintu kamarku. Tanpa berpikir panjang lagi segera kututup pintu kamarku. Seketika aku terjatuh lemas masih bersandar pada pintu kamarku.
“Tuhan..” rintihku.
“Hei ngapain malah ngumpet didalem ?” kata Aya dari luar kamar.
“Ra.. aku kangen nih pengen main sama kamu” lanjutnya.
Aku masih diam tak menjawab Aya. Hanya air mata yang kini semakin deras mengikuti derasnya hujan diluar sana, tapi isakkan masih tertahan untuk keluar dari mulutku. Aku-pun tak lagi mendengar suara dari luar kamarku. Kucoba dengar lebih seksama lagi. Tak ada suara terdengar.
“Aya udah pergi ?” tanyaku pada diriku sendiri. “Cuma segitu ya Ya usaha kamu ?” lanjutku. Tangisku-pun berlanjut dan kini semakin menjadi. Isakku-pun tak bisa tertahan lagi. Semua kini berbaur menjadi satu.
Terdengar ketukan dari luar pintu kamarku. Sekali ketukan.
Dari bawah sela pintu kamarku muncul selembar kertas berwarna biru. “Warna kesukaan Aya”  batinku. Dan memang benar itu adalah surat dari Aya, terlihat dari tulisan tangannya yang berada disalah satu sisi yang kulihat saat ini. Yang bertuliskan : -Langit selalu biru, bukan ? Warna yang damai. Warna favoritku. Kita.-
“Jadi ? Aya masih disini ? Tuhan.. apa kehendakmu selanjutnya ? Berikan kekuatan lebih besar untuk Aira menghadapi kelanjutan ini semua Tuhan..” do’aku.
Aku makin menguatkan hatiku untuk memulai membaca setiap kata yang tertulis didalam kertas itu.
Kamu tau ? Sebenernya aku juga ambil salah dari semua keadaan ini. Kenapa bisa ? Karena aku juga mulai ngerasain perasaan yang kamu rasain sama aku Ra. Aku mulai menyayangi kamu.. sayang yang berbeda, yang kuat dan spesial.
Kamu ngerasa sakit ya Ra ? Dan aku tau kamu butuh tempat untuk berbagi. Karena aku tau hanya sama aku biasanya kamu berbagi.
Tapi Ra, aku belum siap sama semua ini. Kita selalu bersama sebagai sahabat tapi semua kini harus berubah karena perasaan kita.
Isakkanku semakin menjadi dan kini tak bisa ditahan lagi. Semakin keras dan lebih keras. Aku menguatkan diriku membaca kelanjutan surat itu.
Aku juga ngerasa sakit Ra.. sakit karena aku merasa bersalah udah ngelukai kamu. Ra.. kamu percaya takdir kan ? Kamu percaya sama Tuhan kan ?
Sekarang buka pintunya Ra.. Aku mohon.
Aku terdiam beberapa saat setelah membaca keseluruhan dari isi surat itu. Aku menenangkan diri dan mulai berpikir apa yang akan kulakukan. “Apa aku harus keluar ?” kataku. “Tuhan ? Apa yang harus Aira lakukan sekarang ?” lanjutku. Aku menarik napasku panjang, menenangkan diri. “Iya! Aku harus keluar!” kataku akhirnya mengambil keputusan. “Terima kasih Tuhan..”
Kuusap air mata yang masih menempel dikedua pipiku. Kurapikan diriku dan kutata kembali hatiku untuk kuat. Aku-pun membuka pintu kamarku perlahan. Kulihat Aya yang duduk dilantai dan bersandar pada dinding kamarku. Dia tertunduk memegang spidol warna biru yang aku yakin tadi ia gunakan untuk menulis suratnya untukku. Seketika aku merasa tersentuh melihat keadaannya yang terlihat begitu lelah.
Aku menengok kesekitar kami, memastikan tidak ada orang disitu kecuali kami. Setelah itu aku duduk disebelahnya.
“Finally” kata dia lirih.
“Iya.. akhirnya” jawabku tak kalah lirih.
“Aku cuma mau bilang sesuatu sama kamu dan ngasih surat ini buat kamu” katanya yang sekarang tak menoleh sama sekali kearahku dan hanya menunjukkan sepucuk surat yang sudah terlipat rapi ditangannya. Bahkan aku tak tau kapan tepatnya ia membuat surat itu.
“Eeh? Ma..mau bilang a..apa ? Terus ii..itu surat a..apa ? Tadi kan kamu udah ngasih surat ?” kataku sedikit terbata.
“Kamu udah taulah Ra, kan tadi aku udah bilang juga” dia diam sesaat.
“Aku cinta sama kamu Ra. Dan kamu masih inget sama takdir yang sering tak ceritain sama kamu kan Ra ? Kamu percaya kan ?” lanjutnya.
Dan sekarang Aya melihatku dengan nanar. Dia selalu seperti ini ketika dia benar-benar lelah dan terluka.
“Iya. Aku inget dan aku percaya, Ya” jawabku.
“Aku juga percaya, Ra. Maaf untuk semua luka yang udah aku torehkan”
Dua butir air mata jatuh dari pelupuk mata Aya. Dia menyerahkan kertas biru dalam tangannya padaku. Menyentuh lembut kedua pipiku dan menghapus air mata yang ada disana.
“Good Bye Aira. Biarkan takdir yang mempertemukan kita lagi” katanya.
Air mata tak bisa lagi tertahan olehku. Aku menangis mendengarkan kata-kata Aya barusan. Aku-pun melihat Aya mulai beranjak menjauh pergi dariku, dan entah mengapa tubuhku terasa kaku sehingga aku tak bisa mencegahnya untuk tidak pergi. Aku hanya terdiam dalam tangisku melihat ia perlahan menjauh dan kemudian hilang. Aku masih diam selama beberapa saat setelah sepeninggalan Aya, aku masih begitu terluka melihat ia pergi dalam luka. Luka yang mungkin sama dengan luka yang kurasakan saat ini.
Aku mulai memberanikan diri membuka kertas biru yang ia Aya berikan padaku sebelum ia pergi.



Special for : Aira –Seseorang yang sempat dan selalu membuatku berwarna-

Kamu tau Ra ? Aku mulai ngerasa perasaan aneh ini udah cukup lama. Kamu masih ingat ? Pas aku bilang ada yang mulai berbeda tentang perasaanku sama Alika. Bisa kubilang semua mulai berubah pada saat itu. Aku ngerasa, aku mulai terbiasa dengan Alika yang biasa. Tapi aku merasa bahagia, bahagia yang sederhana ketika aku bersama kamu. Nonton serial kartun beruntun favorit kamu dimana aku duduk disebelah kamu. Bahagia waktu ngeliat kamu ketawa. Bahagia waktu ngeliat kamu semangat dengan cerita-cerita kamu dan kamu begitu antusias ceritain itu semua sama aku. Tapi aku selalu ngerasa ada yang beda tiap aku cerita tentang Alika maupun perempuan lain. Perasaan aku nggak mau ngelanjutin ceritaku lebih panjang lagi. Dan bodohnya aku, aku baru sadar tentang semua itu, tentang perasaan kamu dan perasaanku, setelah kamu buat semuanya jadi lebih gamblang. Gamblang yang nyakitin buat kamu, karena yang ngebuka itu bukannya kamu tapi malah Alika.
Oya.. Ra, memang aku sayang sama kamu, tapi aku ngga mau Ra, kedekatan kita akan terhapus ketika takdir tak bisa berpihak pada kita. Aku lebih memilih kita selalu bersama, berbagi bahagia walaupun dengan cinta yang masing-masing kita punya. Karena aku tak sanggup terpisah dari kebersamaan kita walaupun kebersamaan kita ketika tanpa cinta.
Maaf aku pergi dari kamu Ra. Tapi kita sama-sama percaya sama Tuhan kan ? Kita sama-sama percaya sama takdir Tuhan. Kalo ngga percaya, apa alasan kamu percaya tentang pertemuan kita yang kita bahkan ngga duga sebelumnya ? Iya kan ?
Semuanya simpel Ra, takdir yang mempertemukan kita. Takdir yang menunjukkan kita arah dari masa lalu menjadi sekarang. Dan aku harap takdir akan menunjukkan kita arah dari sekarang menuju masa depan dan selamanya.
Aira.. Sampai jumpa lagi saat takdir akan berpihak pada kita. Aya.



                                                                                                                                                                                                             *         
Saat itu, aku serasa ingin marah. Marah dengan diriku sendiri karena terlalu muluk menginginkan semua menjadi milikku. Marah karena Aya terlalu pengecut dan takut sehingga meninggalkanku. Marah kepada Tuhan dengan semua luka yang tak pernah kering, berbekas dan terkuak lagi.
Tapi setelah beberapa lama aku menyadari, bahwa aku memiliki Tuhan, tapi Tuhan tak hanya memiliki aku. Semua sudah Ia rencanakan, dan aku hanya menunggu kapan waktuku diputar. Aku hanya tinggal menunggu dan bertahan.
“Tuhan.. semoga takdir pada akhirnya berpihak padaku dan Aya. Aku menunggu takdir membawa kami pada saat itu. Saat masa depan dan selamanya” do’aku selalu.

                                                                                                                                                                                                             *         

Tersadar dari ingatan masa-masa 6 bulan yang lalu ketika Aya meninggalkanku. Aku tersadar dari kenangan-kenangan antara kami dalam waktu lama itu.
Saat ini, aku masih berada dibangku favoritku, favorit kami. Aku dan Aya. Kami yang dulu selalu menghabiskan semua waktu bersama kami dibangku ini. tapi sekarang aku sendiri dibangku ini, hanya bersama kenangan antara kami.
Kulihat keadaan sekelilingku. Cukup ramai. Ada dua pasangan kekasih atau teman aku sendiripun tak tahu, sekelompok pelajar yang duduk tak jauh dari bangku tempatku duduk saat ini dan aku yang sendiri. Paling tidak keadaan ini membuat aku tidak merasa begitu kesepian dan tersesat sendiri melayang dalam duniaku, karena aku masih mampu mendengar canda-ria orang-orang disekitarku dan menyadarkanku bahwa aku didunia ini.
Aku kembali melihat sekeliling. Lebih tepatnya melihat lebih detail taman ini, lebih detail tentang kenanganku bersama Aya. Tanpa kusadari kedua bola mataku mulai hangat dan rindu mulai menjalar keseluruh tubuhku.
Aku melihat keatas, kearah langit yang saat itu sedang menyombongkan birunya. “Aku menyukai biru karena biru mengingatkanku sama kamu Ya.. Damai. Dan aku ngga suka hujan Ya, karena apa ? Karena hujan saat itu adalah ketika kamu pergi ninggalin aku” ungkapku dalam hati.
“Kamu tau Ya ? Aku menghabiskan berjuta ribu detik waktuku untuk meredammu dalam hatiku.. Tapi kamu hanya membutuhkan satu detik aja dengan mengingatkanku akan semua kenangan kita, buat menguaknya lagi kepermukaan dan merobohkan kokohnya hatiku menahan rindu diriku yang kau tinggalkan” batinku dalam hati.
“Aya.. Aku takut kalau takdir takkan pernah berpihak pada kita. Dan kita akan selamanya menjadi AKU.. KAMU.. dan MASING-MASING. Aku dan kamu yang terpisah dan takkan pernah menyatu menjadi selamanya”
“Dan Tuhan.. Aira takut dengan semua takdir yang sudah Engkau buat dan takdir yang nantinya akan Engkau berikan pada Aira. Aira takut kalau pada akhirnya penantian atas takdir itu semua adalah sia-sia..”

Selesai.

Comments

Popular Posts